Puting Beliung Arab dan Ancaman Israel

Kamis, 15 Juli 20100 komentar


Diam-diam militer Zionis Israel terus mengasah kemampuannya berperang. Latihan perang itu dilakukan selama sepekan dan berakhir pada Jumat (15/2).

Menurut media berbahasa Arab yang berbasis di London, Inggris, Al Sharq Al Awsat (edisi 16/2/2013), latihan perang kali ini bukan dalam kategori rutin alias latihan perang biasa.

 Tapi, ini merupakan latihan perang secara menyeluruh yang melibatkan semua angkatan perang, darat, laut, dan udara. Bahkan, juga merekrut anak-anak sekolah usia 16-18 tahun sebagai pasukan cadangan. Mereka, anak-anak usia sekolah, diajarkan dasar-dasar strategi perang juga cara bersikap bila sewaktu-waktu negaranya terlibat konflik bersenjata dengan negara-negara di sekitarnya.

Pelajaran perang ini dimasukkan dalam kurikulum wajib dan diajarkan dalam jam-jam sekolah. Kerangka latihan perang secara menyeluruh itu juga termasuk saat jet-jet Israel menggempur beberapa sasaran di wilayah Suriah, Januari lalu. Tepatnya, ke gedung pusat penelitian militer di Kota Jamraya yang berbatasan dengan Lebanon.

 Menurut sumber di militer Israel, serangan ke Suriah mempunyai dua tujuan. Pertama, menguji coba kecanggihan senjata terhadap sasaran tembak/bom. Kedua, untuk mengetahui seberapa besar respons dunia, utamanya negara-negara di Timur Tengah terhadap serangan ke Suriah itu.

Menurut Mayor Jenderal Amer Ashel, serangan ke Suriah itu dimaksudkan untuk mengurangi ancaman mendesak terhadap negaranya. “Kami ingin menciptakan situasi keamanan yang lebih baik bagi kami dalam memenangkan perang bila itu terjadi,” ujarnya.

 Dalam latihan perang kali ini, menurut Al Sharq Al Awsat, termasuk bagaimana mengonsolidasikan kekuatan perang antardivisi, baik darat, laut, maupun udara. Juga, cara mengoordinasikan penggunaan pasukan cadangan.

Dan, yang tidak kalah penting adalah mempersiapkan psikologi masyarakat Israel, terutama para politikus dan media untuk menghadapi perang secara menyeluruh. Baik perang terhadap satu sasaran, maupun sejumlah sasaran dalam satu waktu. “Hal ini diperlukan agar semua pihak memiliki satu suara ketika Israel menghadapi perang,” kata sebuah sumber di militer Israel.

 Menurut harian Israel Ma'arif, dalam latihan perang kali ini para komandan militer juga mengevaluasi pengalaman beberapa peperangan sebelumnya. Utamanya, serangan terhadap Lebanon, serbuan ke Gaza pada akhir 2008 dan awal 2009, dan ekspansi bersenjata terhadap Gaza yang dilakukan pada akhir tahun lalu.

“Semua itu diperlukan untuk meningkatkan kemampuan militer Israel dalam menghadapi perang dalam segala front dan ukuran,” tulis Ma'arif dalam tajuk rencananya. Selama sepekan latihan perang, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak tidak ikut serta. Ia sedang berada di AS untuk melobi kementerian pertahanan (Pentagon), para komandan militer, dan bertemu dengan Menteri Luar Negeri John Kerry.

 Latihan perang secara menyeluruh yang digelar Zionis Israel ini tentu tak terlepas dari perkembangan di kawasan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk, ketika sejumlah negara Arab dihantam angin puting beliung yang bernama Al Thaurath Al Arabiyah alias revolusi rakyat Arab.

Puting beliung yang kemudian meruntuhkan rezim penguasa diktator otoriter yang telah berkuasa puluhan tahun, Zainal Abidin bin Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, Ali Abdullah Saleh di Yaman, dan Muamar Qadafi di Libya. Sedangkan, di Suriah rezim Bashar al-Assad hingga kini masih tegak menghadapi revolusi rakyatnya.

 Negara-negara Arab yang telah dihantam puting beliung itu kini sudah berganti sistem ketatanegaraannya. Mereka menerapkan sistem demokrasi. Dalam alam demokrasi tersebut, kelompok-kelompok Islam yang selama rezim diktator otoriter yang lalu selalu dilarang dan bahkan dikejar-kejar, kini mendirikan partai politik. Mereka kemudian berhasil memenangkan pemilihan umum, baik di parlemen maupun pemilu presiden.

Pendek kata, negara-negara, seperti Mesir dan Tunisia kini diperintah oleh partai Islam. Termasuk, di Maroko yang untuk pertama kalinya memiliki perdana menteri dari tokoh Islam. Hingga kini, beberapa pemerintahan Islam itu dalam politik luar negerinya masih meneruskan kebijakan pendahulunya.

 Di Mesir, misalnya, Presiden Muhammad Mursi masih berkomitmen pada penjanjian Camp David (1978) yang ditandatangani Presiden Anwar Sadat, Perdana Menteri Israel Menachem Begin, dan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Perjanjian ini berisi kesepakatan bahwa Israel akan mengembalikan Gurun Sinai kepada Mesir dan Mesir secara resmi akan mengakui negara Israel. Kedua negara juga sepakat untuk menjalin hubungan diplomatik.

Tapi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin sebenarnya tidak suka pada perjanjian dengan Israel itu. Hal yang sama juga terjadi dengan pemerintahan baru di beberapa negara Arab lainnya. Di pihak lain, pengaruh Iran di Timur Tengah juga semakin besar.

 Apalagi, setelah mereka membentuk semacam poros kekuatan Teheran-Baghdad-Damaskus-Lebanon Selatan (Hizbullah). Bahkan, Hizbullah telah membuktikan kedigdayaannya ketika melawan invasi Israel di Lebanon Selatan pada 2006. Saat itu, Zionis Israel terpaksa menarik mundur pasukannya lantaran perlawanan sengit para pejuang Hizbullah.

Sayangnya, negara-negara di kawasan Timur Tengah susah untuk dipersatukan, termasuk antarnegara Arab sendiri. Dalam pertemuan negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Kairo dua pekan lalu, perpecahan itu sangat tampak, terutama menyangkut masalah Suriah dan bagaimana menghadapi Zionis Israel.

 Selama negara-negara Arab dan Islam tidak kompak, apalagi setelah diterpa puting beliung revolusi rakyat, Zionis Israel akan terus mengancam dan menjajah.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Majelis Ulama Indonesia Kota Tanjungpinang | mui.kotatanjungpinang@gmail.com
Copyright © 2011. MUI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Edi Suryadi, A.Md.
Proudly powered by MUI KOTA TANJUNGPINANG