MUI Larang Perempuan Nikah Pada Usia Dini

Senin, 25 Februari 20131komentar

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Dr. KH. Makruf Amin melarang perempuan menikah di usia dini karena tidak maslahat. Menurut dia, perempuan menikah di usia dini menimbulkan banyak madlorat. Makruf Amin setuju usia minimum perempuan boleh menikah dalam usia 18 tahun.

“Yang penting harus ada kesepakatan umur berapa. Jangan antar lembaga terkait justeru beda, sehingga menimbulkan kesimpang siuran di tengah masyarakat luas. Umur berapa yang sudah disepakati, saya setuju pakai satu undang-undang saja. Undang-undang perkawinan yang ada sekarang memang perlu direvisi,” katanya menjawab pertanyaan MUIonline, di Jakarta, Kamis (21/2) menanggapi keinginan PBNU untuk merubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 Tentang Perkawinan.

Seperti diketahui, pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1997 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa usia minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Sementara Undang-undang Perlindungan Anak mensyaratkan 18 tahun. Sedangkan BKKBN menyarankan usia menikah pertama bagi perempuan adalah usia 21 tahun.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Saiq Aqil Siraj mengusulkan agar usia minimal perempuan menikah adalah 18 tahun sebagaimana dalam undang-undang perlindungan anak. Aqil Siraj minta agar undang-undang perkawinan direvisi. Sebab, batasan 16 tahun sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman dikaitkan dengan ekses negatif yang ditimbulkan terhadap kaum perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Sedang usia 21 tahun sebagaimana diusulkan BKKBN dinilai terlalu lambat.

Dikemukakan Aqil Siraj, secara medis, pernikahan anak di bawah umur dianggap sangat berisiko. Dalam banyak kasus kesehatan, akibat pernikahan dini, terjadi perdarahan, anemia, dan komplikasi saat melahirkan. Selain itu perempuan hamil pada usia muda berpotensi besar untuk melahiran anak dengan berat lahir rendah, kurang gizi dan anemia. Saat ini rata-rata angka kematian ibu melahirkan di negeri kita cukup tinggi, yaitu 228 kematian per 100 ribu kelahiran hidup.

Pelaksana tugas Kepala BKKBN Sudibyo Alimoeso menyebutkan terdapat korelasi antara fenomena menikah dini dengan tingginya angka kematian ibu. “Rata-rata setiap satu jam terdapat dua kasus kematian ibu. Jika diakumulasikan dalam setahun mencapai 17.520 kasus,” katanya seperti diberitakan sejumlah media massa.

Deputi bidang Advokasi dan Penggerakan Informasi BKKBN Drs. Hardianto juga mendorong dilakukannya revisi terhadap Pasal 7 UU No 1 tahun 1997 tentang Perkawinan. Klausul diperbolehkannya perempuan berusia 16 tahun untuk menikah dipandang kurang tepat. "Kami berharap UU Perkawinan direvisi. Jangan 16 tahun," ujarnya.

Dibagian lain, Makruf Amin mengemukakan, umat Islam harus mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang disahkan pemerintah, berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama. Peraturan dan perundang-undangan dibuat dalam rangka kemaslahatan masyarakat. Sedang tujuan syariat itu adalah untuk terciptanya kemaslahatan. Karena itu, peraturan dan perundang-undangan merupakan pelengkap dan dan harus dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari peraturan yang ada dalam syariat Islam.

“Umat Islam wajib ikut dan patuh demi kemaslahatan bersama. Kan tujuan syariat itu adalah untuk kemaslahatan umat. Memang ketentuan dasarnya dalam fiqh adalah akil-baligh, dewasa yang antara lain ditandai dengan haid. Anak umur sembilan tahun ada yang sudah haid. Tapi kalau nikah umur sembilan tahun itu gak maslahat, kan ga boleh. Lalu, pemerintah memberi aturan tambahan, dengan tujuan kemaslahatan. Ya umat Islam wajib ikut dan patuh. Sama dengan makan nasi boleh, tapi kalau kebanyakan sampai mabok, ya haram,” paparnya. (Qr)

Jakarta, (MUIonline)

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Dr. KH. Makruf Amin melarang perempuan menikah di usia dini karena tidak maslahat. Menurut dia, perempuan menikah di usia dini menimbulkan banyak madlorat. Makruf Amin setuju usia minimum perempuan boleh menikah dalam usia 18 tahun.

“Yang penting harus ada kesepakatan umur berapa. Jangan antar lembaga terkait justeru beda, sehingga menimbulkan kesimpang siuran di tengah masyarakat luas. Umur berapa yang sudah disepakati, saya setuju pakai satu undang-undang saja. Undang-undang perkawinan yang ada sekarang memang perlu direvisi,” katanya menjawab pertanyaan MUIonline, di Jakarta, Kamis (21/2) menanggapi keinginan PBNU untuk merubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 Tentang Perkawinan.

Seperti diketahui, pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1997 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa usia minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Sementara Undang-undang Perlindungan Anak mensyaratkan 18 tahun. Sedangkan BKKBN menyarankan usia menikah pertama bagi perempuan adalah usia 21 tahun.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Saiq Aqil Siraj mengusulkan agar usia minimal perempuan menikah adalah 18 tahun sebagaimana dalam undang-undang perlindungan anak. Aqil Siraj minta agar undang-undang perkawinan direvisi. Sebab, batasan 16 tahun sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman dikaitkan dengan ekses negatif yang ditimbulkan terhadap kaum perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Sedang usia 21 tahun sebagaimana diusulkan BKKBN dinilai terlalu lambat.

Dikemukakan Aqil Siraj, secara medis, pernikahan anak di bawah umur dianggap sangat berisiko. Dalam banyak kasus kesehatan, akibat pernikahan dini, terjadi perdarahan, anemia, dan komplikasi saat melahirkan. Selain itu perempuan hamil pada usia muda berpotensi besar untuk melahiran anak dengan berat lahir rendah, kurang gizi dan anemia. Saat ini rata-rata angka kematian ibu melahirkan di negeri kita cukup tinggi, yaitu 228 kematian per 100 ribu kelahiran hidup.

Pelaksana tugas Kepala BKKBN Sudibyo Alimoeso menyebutkan terdapat korelasi antara fenomena menikah dini dengan tingginya angka kematian ibu. “Rata-rata setiap satu jam terdapat dua kasus kematian ibu. Jika diakumulasikan dalam setahun mencapai 17.520 kasus,” katanya seperti diberitakan sejumlah media massa.

Deputi bidang Advokasi dan Penggerakan Informasi BKKBN Drs. Hardianto juga mendorong dilakukannya revisi terhadap Pasal 7 UU No 1 tahun 1997 tentang Perkawinan. Klausul diperbolehkannya perempuan berusia 16 tahun untuk menikah dipandang kurang tepat. "Kami berharap UU Perkawinan direvisi. Jangan 16 tahun," ujarnya.

Dibagian lain, Makruf Amin mengemukakan, umat Islam harus mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang disahkan pemerintah, berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama. Peraturan dan perundang-undangan dibuat dalam rangka kemaslahatan masyarakat. Sedang tujuan syariat itu adalah untuk terciptanya kemaslahatan. Karena itu, peraturan dan perundang-undangan merupakan pelengkap dan dan harus dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari peraturan yang ada dalam syariat Islam.

“Umat Islam wajib ikut dan patuh demi kemaslahatan bersama. Kan tujuan syariat itu adalah untuk kemaslahatan umat. Memang ketentuan dasarnya dalam fiqh adalah akil-baligh, dewasa yang antara lain ditandai dengan haid. Anak umur sembilan tahun ada yang sudah haid. Tapi kalau nikah umur sembilan tahun itu gak maslahat, kan ga boleh. Lalu, pemerintah memberi aturan tambahan, dengan tujuan kemaslahatan. Ya umat Islam wajib ikut dan patuh. Sama dengan makan nasi boleh, tapi kalau kebanyakan sampai mabok, ya haram,” paparnya. (Qr)
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

8 April 2013 pukul 12.54

Subhanallah mantap blognya, salam dari MUI Rancah Ciamis

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Majelis Ulama Indonesia Kota Tanjungpinang | mui.kotatanjungpinang@gmail.com
Copyright © 2011. MUI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Edi Suryadi, A.Md.
Proudly powered by MUI KOTA TANJUNGPINANG